Pesantren sebagai Pusat Pergerakan Ekonomi Kerakyatan

Pesantren selama ini dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional yang mencetak generasi berakhlak mulia, memahami agama, dan berperan aktif dalam dakwah serta kehidupan sosial masyarakat. Namun seiring perkembangan zaman, pesantren kini menghadapi tantangan yang lebih kompleks, termasuk dalam bidang ekonomi. Di tengah derasnya arus kapitalisme dan sistem ekonomi yang kadang tidak berpihak pada rakyat kecil, pesantren memiliki potensi besar untuk menjadi pusat pergerakan ekonomi kerakyatan – sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan rakyat dan keadilan sosial.

Akar Filosofis Ekonomi Kerakyatan dalam Islam

Islam sejak awal telah menekankan pentingnya keadilan sosial, distribusi kekayaan yang merata, dan perlindungan terhadap kelompok lemah dalam masyarakat. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:

“Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”
(QS. Al-Hasyr: 7)

Ayat ini menjadi dasar utama dalam mengkritisi sistem ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir elite. Islam mendorong agar kekayaan tidak terpusat pada satu kelompok, tetapi menyebar dan dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Konsep ini selaras dengan ekonomi kerakyatan, yaitu sistem yang berpihak pada usaha kecil-menengah, koperasi, dan ekonomi berbasis komunitas.

Rasulullah SAW sendiri adalah seorang pedagang sebelum kenabiannya. Dalam praktiknya, beliau dikenal jujur dan adil, serta memuliakan pekerja dan pengusaha kecil. Dalam sebuah hadits beliau bersabda:

“Pedagang yang jujur dan amanah akan bersama para nabi, orang-orang benar dan para syuhada.”
(HR. Tirmidzi)

Pesan ini bukan hanya tentang keutamaan kejujuran dalam bisnis, tapi juga mengandung nilai bahwa kegiatan ekonomi merupakan bagian dari ibadah jika dilakukan dengan niat dan cara yang benar.

Tradisi Kemandirian Ekonomi di Pesantren

Sejak dahulu, banyak pesantren di Indonesia telah memiliki tradisi kemandirian ekonomi. Para kiai dan santri terlibat dalam kegiatan pertanian, peternakan, perdagangan, hingga kerajinan tangan. Bahkan dalam sejarah perlawanan terhadap penjajah, pesantren menjadi basis perlawanan ekonomi selain politik dan militer. Misalnya, K.H. Hasyim Asy’ari dan tokoh-tokoh NU menginisiasi koperasi dan sistem perdagangan umat untuk membebaskan rakyat dari dominasi ekonomi kolonial dan para tengkulak.

Kemandirian ekonomi ini lahir dari semangat ta’awun (tolong-menolong), ukhuwah (persaudaraan), dan keadilan dalam distribusi. Pesantren bukan hanya tempat belajar agama, tetapi juga tempat tumbuhnya budaya kerja keras, gotong-royong, dan etos ekonomi berbasis nilai-nilai Islam.

Transformasi Pesantren: Dari Lembaga Pendidikan ke Lumbung Ekonomi Umat

Dalam konteks kekinian, banyak pesantren mulai bertransformasi menjadi pusat pemberdayaan ekonomi. Beberapa contoh:

  • Pesantren Al-Ittifaq (Ciwidey, Bandung): sukses membangun jaringan tani hortikultura dan menjadi penyuplai utama sayuran ke supermarket besar.
  • Pesantren Sidogiri (Pasuruan): membentuk koperasi santri yang berkembang menjadi lembaga keuangan mikro berbasis syariah.
  • Pesantren Tebuireng (Jombang): mendirikan berbagai unit usaha seperti toko, pertanian, hingga penerbitan buku.

Transformasi ini menunjukkan bahwa pesantren memiliki modal sosial, spiritual, dan struktural yang kuat untuk menggerakkan ekonomi kerakyatan. Santri bukan hanya menjadi agen dakwah, tapi juga agen perubahan sosial-ekonomi.

Dalil dan Pandangan Ulama Tentang Peran Umat dalam Ekonomi

Ulama sepakat bahwa umat Islam wajib mengambil bagian dalam kegiatan ekonomi untuk mewujudkan kemaslahatan. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal adalah hal yang harus dipenuhi oleh masyarakat agar ibadah dapat dilaksanakan dengan baik. Ia menulis:

“Agama itu fondasinya adalah kebutuhan duniawi. Maka tidak sempurna agama seseorang jika kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi.”
(Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin)

Pendapat ini mengindikasikan bahwa ekonomi bukan urusan duniawi semata, melainkan bagian dari sistem kehidupan Islam yang utuh. Dalam konteks ini, pesantren dapat memainkan peran penting untuk menciptakan kemandirian ekonomi berbasis nilai-nilai spiritual.

Pesantren dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat

Ekonomi kerakyatan mengandalkan kekuatan UMKM, koperasi, dan ekonomi lokal. Pesantren bisa menjadi episentrum pemberdayaan masyarakat dengan berbagai pendekatan:

  1. Pendidikan Kewirausahaan
    Santri dibekali dengan keterampilan kewirausahaan, manajemen usaha, dan pemahaman fiqih muamalah.
  2. Unit Usaha Pesantren (UUP)
    Pesantren mendirikan usaha berbasis potensi lokal seperti pertanian, peternakan, kuliner, atau digital economy.
  3. Kemitraan Strategis
    Pesantren bekerja sama dengan pemerintah, BUMN, dan sektor swasta untuk akses modal, pelatihan, dan pemasaran.
  4. Digitalisasi Ekonomi
    Mengembangkan marketplace santri, produk halal, dan promosi melalui media sosial serta e-commerce.

Dengan langkah-langkah ini, pesantren bukan hanya mencetak santri yang alim, tapi juga produktif, mandiri, dan kontributif terhadap ekonomi umat.

Tantangan dan Harapan

Tentu saja, masih ada tantangan yang dihadapi dalam menjadikan pesantren sebagai pusat ekonomi kerakyatan, antara lain:

  • Minimnya modal dan akses ke perbankan syariah.
  • Kurangnya tenaga pengajar ekonomi dan bisnis yang berbasis syariah.
  • Masih adanya anggapan bahwa urusan dunia (termasuk ekonomi) bukan ranah pesantren.

Namun semua tantangan itu bisa diatasi dengan kolaborasi, pelatihan berkelanjutan, serta dukungan dari pemerintah dan masyarakat luas.

Pemerintah sendiri melalui UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren telah membuka jalan bagi pengakuan pesantren sebagai lembaga pendidikan sekaligus pemberdayaan masyarakat. Dengan payung hukum ini, pesantren bisa lebih leluasa dalam berinovasi, termasuk dalam bidang ekonomi.

Kesimpulan: Pesantren, Pilar Ekonomi Umat

Sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia yang telah mengakar di tengah masyarakat, pesantren memiliki potensi luar biasa untuk menjadi penggerak utama ekonomi kerakyatan. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai Islam, semangat kewirausahaan, dan strategi pemberdayaan berbasis komunitas, pesantren dapat menjadi jawaban atas tantangan ekonomi modern.

Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an:

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.”
(QS. Al-Ma’idah: 2)

Ekonomi kerakyatan bukan sekadar sistem, tetapi jalan menuju keadilan sosial dan kemakmuran umat. Pesantren, dengan seluruh sumber dayanya, adalah pelita yang bisa menuntun masyarakat menuju kemandirian, keberkahan, dan kesejahteraan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *