Peran Santri di Era Digital dan AI: Dari Konsumen Menjadi Inovator

Dalam sejarah panjang bangsa ini, santri memiliki peran strategis sebagai penjaga nilai, pembawa cahaya ilmu, dan pelaku perubahan sosial. Namun kini, dunia tengah berubah. Gelombang digital dan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) datang begitu cepat dan massif, membawa perubahan besar dalam cara manusia hidup, bekerja, berinteraksi, dan berpikir. Banyak pihak—termasuk institusi keagamaan—masih gagap menyesuaikan diri. Lantas, bagaimana nasib para santri? Apakah mereka akan tenggelam sebagai korban zaman? Atau justru tampil sebagai subjek utama yang ikut menakhodai perubahan?

Bahaya Menjadi Objek di Era Digital dan AI bagi Santri

Menjadi objek di era digital berarti santri hanya menjadi pengguna pasif. Mereka hanya mengonsumsi konten tanpa kritis, terpengaruh hoaks, hanyut dalam tren media sosial yang dangkal, dan tidak memiliki kontribusi dalam ekosistem digital. Tanpa literasi digital yang baik, banyak santri justru rentan menjadi korban misinformasi keagamaan, propaganda radikal, hingga ketergantungan pada AI tanpa nalar dan akhlak.

Misalnya, maraknya penggunaan AI seperti ChatGPT atau Google Gemini dalam mencari fatwa, membuat sebagian orang melupakan peran ulama dan sanad keilmuan. Jika santri tidak mengambil peran, maka sumber-sumber keislaman akan dikuasai algoritma yang tidak selalu memahami konteks maqashid syariah atau realitas sosial umat.

Dari Objek ke Subjek: Perubahan Paradigma

Namun sejarah membuktikan, santri adalah kaum yang lentur tapi tidak patah, lambat tapi tidak tertinggal. Perubahan zaman bukan untuk ditakuti, tapi untuk dikuasai. Maka, menjadi subjek di era digital artinya santri:

  • Memanfaatkan teknologi untuk tujuan dakwah dan pendidikan.
  • Mengembangkan produk digital yang berakar pada nilai-nilai Islam.
  • Membuat inovasi yang menjawab kebutuhan umat.
  • Terlibat aktif dalam pengambilan keputusan dan regulasi teknologi.

Santri bukan sekadar memakai teknologi, tetapi menjadi arsitek dan penjaga moralitas dari teknologi itu sendiri.

Contoh Nyata: Santri Menjadi Subjek Digital

1. Santri Developer: Membuat Aplikasi Karya Sendiri

Di Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo, para santri tidak hanya belajar kitab, tapi juga belajar coding. Mereka menciptakan aplikasi Android bernama “Kitab Kuning Digital”, yang berisi kumpulan kitab kuning lengkap dengan terjemahan, pencarian cepat, dan fitur belajar interaktif. Aplikasi ini diunduh ribuan kali dan digunakan oleh santri di seluruh Indonesia.

2. Konten Kreatif Santri di Media Sosial

Santri-santri dari Pesantren Kreatif Al-Falah di Bandung membuat kanal YouTube berjudul “Ngaji Sambil Ngopi”, berisi diskusi ringan tentang fiqih, akhlak, dan isu kekinian. Dengan format podcast santai, mereka mampu menjangkau anak muda yang biasanya alergi pada kajian keislaman.

3. Santri sebagai Pustakawan Digital

Di beberapa pesantren modern seperti Darunnajah Jakarta dan Gontor, sudah muncul gerakan digitalisasi kitab-kitab klasik dengan format PDF dan ePub, lengkap dengan anotasi dan metadata. Para santri terlibat langsung dalam kurasi, transliterasi, dan pengarsipan digital.

4. AI Syariah Assistant oleh Alumni Pesantren

Salah satu alumni pesantren alumni UIN Sunan Kalijaga mengembangkan proyek “AI Mufti”, yaitu model chatbot AI berbasis NLP (Natural Language Processing) Bahasa Indonesia yang dilatih khusus menjawab pertanyaan fikih dengan pendekatan mazhab Syafi’i.

5. Santri Jadi Pendamping Literasi Digital di Desa

Bekerja sama dengan Kementerian Kominfo, santri dari jaringan Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) NU dilatih menjadi pendamping literasi digital di berbagai daerah. Mereka mengajarkan masyarakat tentang keamanan digital, verifikasi berita, hingga etika bermedia sosial.

Kiat Santri agar Tetap Relevan di Era AI

  1. Ngaji dan Ngoding Jalan Bersama
    Menguasai ilmu agama dan ilmu teknologi tidak bertentangan. Keduanya saling melengkapi.
  2. Akhlak sebagai Kompas Digital
    Dalam dunia digital yang tanpa batas, akhlak adalah batasnya. Apa yang tak layak di dunia nyata, jangan dilakukan di dunia maya.
  3. Berkolaborasi, Bukan Kompetisi
    Santri harus membuka diri bekerja sama dengan teknokrat, programmer, dan pembuat kebijakan.
  4. Jadilah Narasumber, Bukan Sekadar Konsumen
    Beranikan diri menulis, membuat video, atau menyampaikan opini berdasarkan ilmu yang dimiliki.

Kesimpulan: Santri Bukan Lagi Penonton

Dunia digital dan AI bukan sekadar tantangan, tetapi ladang amal dan ruang perjuangan baru. Santri hari ini tidak cukup hanya hafal Alfiyah dan Fathul Mu’in, tapi juga harus memahami framework digital, prinsip ethical hacking, atau cara kerja machine learning.

Di sinilah peluang besar terbuka: menjadikan teknologi sebagai alat untuk menyebarkan nilai Islam, mengentaskan kebodohan, dan menjaga akhlak masyarakat. Santri bukan lagi penonton perubahan — tapi pengarah arus perubahan.

Jika dahulu KH Hasyim Asy’ari berdiri memimpin revolusi dengan pena dan doa, kini giliran santri masa kini memimpin dunia digital dengan kode, konten, dan keteladanan. Karena pada akhirnya, kecerdasan buatan tetap butuh manusia berakhlak yang bisa membimbingnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *