Sabar, Ikhlas, dan Kesadaran Sosial: Refleksi untuk Santri Zaman Kini

Pendahuluan: Saat Agama Diseret ke Meja Kekuasaan

Hari ini kita hidup di tengah masyarakat yang tampaknya religius — azan berkumandang, kajian ramai, ustaz-ustaz viral di media sosial. Tapi di balik semua itu, ada satu ironi besar: ajaran Islam tentang keadilan sosial seolah dikunci rapat, digantikan dengan ajaran tentang “sabar, ikhlas, dan taat” yang dipotong-potong.

Bukan berarti sabar dan ikhlas itu salah — justru sebaliknya. Namun, ketika keduanya dijadikan alat untuk membungkam protes kaum tertindas, maka kita wajib bertanya: Apakah ini ajaran Nabi, atau alat politik?

Islam dan Kaum Lemah: Berpihak atau Netral?

Al-Qur’an tidak pernah netral terhadap penindasan. Bahkan dari awal, misi risalah Islam sangat jelas: membebaskan manusia dari perbudakan sesama manusia.

“Dan mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah untuk membela orang-orang yang tertindas…”
(QS. An-Nisa: 75)

Ayat ini adalah bentuk paling nyata bahwa Islam berpihak kepada kelompok lemah — para buruh, petani, santri miskin, tukang, dan siapa pun yang tertindas secara struktural.

Imam Al-Qurthubi menjelaskan bahwa ayat ini merupakan dalil wajibnya umat Islam membela kaum tertindas, bukan sekadar mendoakan mereka dari kejauhan.

Sabar dan Ikhlas Bukan Berarti Diam

Sering kita dengar ceramah yang menasihati rakyat kecil agar sabar dan ikhlas dalam menghadapi harga sembako yang naik, gaji yang rendah, atau pemotongan upah. Tapi pertanyaannya: Apakah ini sabar yang benar menurut Islam?

Imam Al-Ghazali dalam Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn menulis:

“Sabar yang sejati adalah sabar yang tidak membiarkan keburukan terus berjalan. Sabar harus disertai dengan usaha dan perlawanan terhadap kemungkaran.”

Jadi, sabar itu aktif, bukan pasif. Ia bukan alasan untuk diam melihat penindasan, tapi energi spiritual untuk bertahan sambil melawan dengan cara yang benar.

Peran Santri: Waras Secara Fikih, Waspada Secara Sosial

Santri hari ini hidup di dunia yang kompleks. Ilmu agama saja tidak cukup — harus disertai kesadaran sosial dan politik. Kita perlu bertanya: apakah ilmu kita membawa pencerahan bagi umat? Ataukah malah menjadi pembenaran terhadap ketidakadilan?

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Jihad yang paling utama adalah berkata benar di hadapan penguasa yang zalim.”
(HR. Abu Dawud)

Jika santri hanya sibuk menghafal, tapi tak peka terhadap nasib tetangga yang di-PHK atau buruh yang digaji tak layak, maka ilmu itu kehilangan ruh.

Agama: Menentramkan Jiwa, Menentang Kezaliman

Islam bukan hanya agama ibadah ritual. Ia adalah agama sosial dan keadilan. Dalam madzhab Syafi’i pun, ada ketegasan soal menolak kezaliman.

Imam Syafi’i pernah berkata:

“Jika seseorang diam melihat kezaliman padahal mampu mencegahnya, maka dia turut berdosa bersama pelaku zalim.”
(al-Umm)

Jadi, jika santri hanya menyuruh rakyat “sabar dan taat”, tanpa menyentuh akar masalah sosialnya, itu adalah pengkhianatan terhadap misi Islam.

Penutup: Santri Harus Melek dan Bergerak

Mari kita renungkan: apakah ilmu kita menjadikan kita manusia yang lebih adil dan membela yang lemah? Atau malah membuat kita nyaman dalam sistem yang menindas?

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada dalam diri mereka.”
(QS. Ar-Ra’d: 11)

Santri bukan hanya penjaga tradisi — tapi juga penjaga keadilan. Mari belajar sabar dan ikhlas dengan benar, bukan sebagai alat pasrah, tapi sebagai kekuatan untuk bangkit.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *