Kitab al-Itqan fi Ulumil Qur’an menjelaskan bahwa makna fitnah sangat luas. Fitnah tidak hanya mencakup satu bentuk keburukan. Dalam konteks sosial, fitnah bisa muncul sebagai konflik, pertikaian politik, atau perpecahan umat. Namun, pada lapisan yang lebih dalam, fitnah juga menjelma sebagai ujian: godaan yang memesona, kesenangan yang mengalihkan fokus, atau keindahan yang menyesatkan.
Dengan kata lain, apa pun yang menjauhkan manusia dari tujuan hidupnya bisa tergolong fitnah. Banyak orang tertarik pada hal-hal yang tampak glamor—kekuasaan, harta, popularitas, atau simbol-simbol keberhasilan. Mereka menikmati keasyikan itu tanpa menyadari kehampaan di dalamnya. Mereka mengejar pemuasan nafsu, menyembah simbol, dan membenarkan kesalahan dengan logika yang menipu.
Karena itu, kita perlu terus belajar dan melatih diri untuk melampaui semua bentuk ilusi ini. Proses ini menjadi kurikulum panjang bagi jiwa yang ingin selamat.
Hadis Nabi dan Tingkat Keterlibatan dalam Fitnah
Gus Baha’ sering mengutip sebuah hadis Nabi Muhammad ﷺ:
“Akan datang masa fitnah, di mana orang yang duduk lebih baik dari yang berdiri, yang berdiri lebih baik dari yang berjalan, dan yang berjalan lebih baik dari yang berlari. Siapa yang mendekat padanya, ia akan diseret masuk.”
Hadis ini tidak hanya memperingatkan tentang fitnah, tetapi juga menggambarkan tingkat keterlibatan manusia di dalamnya. Semakin besar keterlibatan seseorang, semakin tinggi pula risikonya. Sebaliknya, orang yang menjaga jarak justru lebih selamat.
Bagian akhir hadis tersebut memperkuat peringatan itu: siapa yang mendekat, fitnah akan menyeretnya masuk. Fitnah memang menyenangkan, memesona, dan membuat orang larut. Ia bekerja seperti lubang hitam—semakin dekat, semakin sulit untuk kembali.
Strategi Diam di Era Post-Truth
Di era post-truth, kita tidak bisa langsung membedakan antara yang benar dan yang salah. Informasi bercampur dengan opini. Fakta bersaing dengan hoaks. Jika kita tidak hati-hati, kita bisa terseret arus tanpa sadar.
Gus Baha’ menyarankan sikap strategis: diam dan menjaga jarak. Dalam situasi kacau, diam bukan berarti lari. Justru, diam menunjukkan kesadaran. Ia bukan bentuk apatisme, melainkan pilihan aktif untuk tidak ikut memperkeruh keadaan. Seseorang yang belum mampu menyelesaikan masalah dengan benar sebaiknya menahan diri terlebih dahulu.
Objektivitas yang Terkikis dalam Pusaran Konflik
Ketika kita terus-menerus menyerap konflik dan pertentangan, kita rentan mengalami kelelahan emosional, bias kognitif, dan penurunan sensitivitas moral. Banyak orang akhirnya tidak lagi mencari kebenaran. Mereka hanya ingin membenarkan opininya sendiri. Polarisasi pun tumbuh. Umat terpecah. Ukhuwah retak. Jalan tengah hilang.
Karena itu, menjaga jarak dari konflik menjadi tindakan penting. Kita tidak harus selalu bicara. Kadang, yang paling bijak adalah menunggu dan mengamati. Kita perlu memastikan bahwa kita benar-benar paham sebelum bersuara.
Penutup: Menepi untuk Menjernihkan Diri
Zaman fitnah menawarkan berbagai distraksi. Ia memikat dengan kilauan palsu, tapi kosong di dalamnya. Kita tidak boleh terpukau begitu saja. Kita perlu bersikap bijak: mengenali ilusi, menahan reaksi impulsif, dan memperkuat ketahanan batin.
Menepi bukan berarti lari. Justru, dengan menepi, kita bisa melihat dengan lebih jernih. Dalam pusaran fitnah, bukan suara paling lantang yang paling benar. Kadang, mereka yang memilih diam justru menunjukkan kedewasaan dan kejernihan hati.
